Kremasi vs Dikuburkan Dalam Proses Pemakaman Tionghoa
Rumah duka Adijasa – menjadi pilihan tempat rumah duka bagi beberapa
orang untuk melepaskan anggota keluarga yang meninggal, di rumah duka ini bisa
menyelenggarakan upacara atau ritual tertentu, salah satunya adalah ritual
upacara kematian etnis Tionghoa yang hidup di Surabaya.
Berdasarkan dari pengamatan yang dilakukan pada sekelompok warga Surabaya
yang masih keturunan Tionghoa, umumnya mereka lebih memilih untuk melakukan
kremasi daripada melakukan ritual upacara yang panjang di rumah duka Adijasa.
Alasan Memilih Kremasi
Kremasi merupakan praktek penghilangan jenazah orang yang meninggal dengan
membakarnya atau pengabuan. Pada umumnya hal ini dilaksanakan di pancaka atau
krematorium. Kremasi digolongkan dalam dua bagian, pertama adalah kremasi
langsung yang dilakukan pasca salah satu anggota keluarga meninggal dan yang
kedua adalah kremasi yang dilaksanakan lebih lama setelah meninggalnya anggota
keluarga.
Untuk kremasi golongan kedua, umumnya terjadi akibat proses pemakaman
sebelumnya yang mana dilakukan di pemakaman, tapi karena ada beberapa peristiwa
dan alasan seperti penggusuran makam atau hal lainnya, maka anggota keluarga
memilih untuk melakukan kremasi.
Pada dasarnya kremasi banyak dilakukan orang Tionghoa yang memeluk agama
Buddha karena dalam ajaran Buddha juga menggunakan kremasi. Tapi tidak semua
orang Tionghoa menganut agama Buddha memilih untuk melakukan kremasi pada
anggota keluarganya yang meninggal, hal ini dikembalikan lagi terhadap tradisi
dan kepercayaan yang sudah dianut oleh keluarga sejak nenek moyang.
Faktanya faktor agama bukanlah penentu, apakah orang Tionghoa memilih untuk
melakukan kremasi atau penguburan karena ada banyak orang Tionghoa bukan
pemeluk agama Buddha yang mengkremasikan anggota keluarga yang meninggal
alih-alih menguburkannya dan menyebarkan bunga duka
Adijasa.
Faktor utama
yang menyebabkan etnis tionghoa memilih melakukan kremasi
Di Adijasa Surabaya kita bisa menyaksikan ritual upacara
pemakaman etnis Tionghoa sejak ritual pertama hingga terakhir karena keturunan
etnis Tionghoa di Surabaya jumlahnya memang cukup banyak. Tapi beberapa orang
Tionghoa lebih memilih untuk melakukan kremasi karena
beberapa faktor seperti:
· Mereka tidak bisa menemukan tanah Fengshui terbaik.
· Adanya permintaan dan wasiat almarhum yang bersangkutan
sebelum wafat misalnya karena harapan agar tidak merepotkan keturunannya.
· Ada juga
keluarga yang memilih mengkremasikan karena kondisi mayat almarhum yang telah
rusak dan tidak utuh akibat dari kecelakaan.
· Kremasi juga
banyak dilakukan karena faktor ketidakmampuan anggota keluarga untuk menziarahi
makam setiap hari atau di hari-hari tertentu, entah karena faktor rumah yang
jauh berada di luar kota atau luar negeri, maka lebih memilih untuk melakukan
kremasi daripada tanah pemakaman tidak ada yang mengurus.
Secara umum, demikianlah faktor-faktor yang membuat keturunan etnis
Tionghoa terutama yang tinggal di Surabaya memilih untuk mengkremasikan anggota
keluarga yang meninggal. Meskipun demikian, dari hasil pengamatan dan survey
yang telah dilakukan, persentase yang memilih tanah makam jauh lebih tinggi
daripada kremasi. Buktinya, toko bunga Surabaya masih
banyak dikunjungi pembeli yang ingin membeli bunga sebelum berziarah.
Ritual umum
kremasi
Ritual kremasi hampir mirip dengan ritual pemakaman di tanah pemakaman tapi
tidak diawali dengan menaburkan bunga duka Adijasa.
Umumnya, jenazah orang yang meninggal akan diinapkan terlebih dahulu
beberapa hari tepat di rumah duka sehingga seluruh anggota keluarga dan
rekan-rekannya bisa hadir untuk memberikan penghormatan terakhir.
Jika ada sahabat atau rekan kerja yang tidak sempat datang karena sedang
berada jauh maka biasanya akan mengirimkan pesan
bunga papan duka Surabaya sebagai ucapan belasungkawa. Upacara atau ritual
sebelum kremasi disesuaikan dengan agama yang dianut almarhum serta
keluarganya. Untuk orang Tionghoa yang memeluk agama Buddha biasanya akan
memanggil caima atau biksu.
Ritual khusus
kremasi
Kegiatan kremasi dilakukan di krematorium dan diawali ketika peti jenazah
diletakkan di rantai penarik yang nantinya akan dibawa ke ruang pembakaran.
Anggota keluarga dari orang yang meninggal atau wakilnya saja diminta untuk
memasangkan dupa lalu bersembahyang untuk ditujukan pada dewa api. Pada tradisi
masyarakat Tionghoa, dewa api adalah dewa pelindung krematorium.
Orang Tionghoa yang hingga saat ini masih memegang teguh prinsip dan
tradisinya akan membuat meja untuk sembahyang yang ditempatkan di depan peti
mati jenazah baru kemudian ditarik masuk dalam ruang pembakaran, lalu tiba
saatnya anggota keluarga yang ditinggalkan untuk memberikan salam penghormatan
terakhir, dalam kondisi inilah banyak anggota keluarga yang menangis karena
tidak kuat menahan kesedihan.
Pasca proses pembakaran selesai, semua tulang dipisahkan dari abu kayu.
Untuk melakukan hal ini, biasanya anggota keluarga menghubungi orang yang ahli,
namun jika menggunakan jasa Adijasa, semuanya sudah ada yang mengurus, bahkan
untuk detail pesan bunga papan duka Surabaya akan
diatur oleh staf supaya terlihat rapi dan tidak mengganggu.
Selanjutnya terdapat 2 kemungkinan untuk abu jenazah, yakni akan
disemayamkan di rumah abu atau memilih untuk dihanyutkan di lautan di tradisi
orang Jawa lebih dikenal sebagai dilarung.
Untuk di kawasan Surabaya, rumah abunya berada di Jalan Kembang Jepun.
Orang yang ingin datang melihat atau berziarah bisa merasakan adanya kemiripan
dengan tanah pemakaman biasa. Pada umumnya tiap cengbeng.
Salah seorang ahli waris atau anak tertua biasanya akan meminta penjaga
rumah abu supaya abu dari anggota keluarga bisa dikeluarkan lalu disimpan di
atas meja yang tersedia sehingga mereka bisa melakukan penghormatan, dalam
kondisi ini tidak perlu membawa bunga papan duka
cita.
Sedangkan untuk jenazah yang dikremasi dan abunya dibuat di lautan, maka
abu ditaruh di sebuah kuali atau kendi yang diikatkan dengan menggunakan kain
berwarna merah. Mereka lantas menyewa sebuah kapal lalu dengan tali merah kendi
yang isinya abu kremasi jenazah diturunkan ke dalam lautan, setelah kendi
menyentuh air, maka kendi bisa dilepaskan dan proses kremasi ini pun dianggap
berakhir.
Mengapa banyak ahli waris etnis Tionghoa yang lama melakukan kremasi pada
jenazah para leluhurnya, bisa jadi karena sisi Fengshui. Dari ilmu fengshui
China, masa kejayaan dari kuburan hanya berlaku hingga 60 tahun saja setelah
lewat dari 60 tahun maka masa kejayaan akan dianggap musnah, fengshui kuburan
bisa menjadi berkonotasi buruk serta dipercaya akan mengganggu keturunan yang
masih hidup saat ini.
Maka dari itu, banyak keturunan yang baru akan melakukan upacara atau
ritual kremasi pada jenazah leluhur mereka pasca 60 tahun masa kejayaan, makam
akan dibongkar lalu melakukan kremasi sebagaimana melakukan ritual upacara pemakaman
di tanah kuburan biasa.
Kremasi vs dikuburkan, mana yang lebih baik?
Mau dikremasi maupun dikuburkan, orang yang meninggal layak untuk
mendapatkan penghormatan terakhir dari anggota keluarga yang dicintai termasuk
dari rekan kerja dan para tetangga, untuk itu ketika ada anggota keluarga yang
meninggal hendaknya langsung diinformasikan pada tetangga dan rekan-rekan
sehingga mereka bisa ikut memberikan belasungkawa, entah itu dengan datang
melayat langsung atau dengan hanya menitipkan bunga papan duka cita.
Bagi anda yang membutuhkan karangan bunga ucapan duka, bisa hubungi kami :
Agustina Florist
Psr.Bunga Kayoon Stan.B,No.26A
Jl. Kayoon,Surabaya
HP/WA : 081233437027 / 081803291424
Email : agustinaflorist44@gmail.com
Website : clianthabunga.com
Tidak ada komentar untuk "Kremasi vs Dikuburkan Dalam Proses Pemakaman Tionghoa"
Posting Komentar